Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Profesi fotografer yang tergilas disrupsi digital seakan menemukan nafasnya kembali di platform Fotoyu.

Aplikasi besutan PT. Super Giga Generasi ini menjadi titik temu seiring dengan bertumbuhnya hobi lari, tuntutan eksis di sosial media, dan fotografer yang tergeser perubahan zaman.

Itulah yang dialami seorang fotografer Adi Diastoro.

Setelah mengantar anaknya sekolah, ia sudah menenteng kamera Fujifilm XT-20 dan lensa viltrox 85 mm yang ia beli second untuk mengais rezeki dari pelari-pelari yang memutari Stadion Manahan tiap pagi dan sore.

Sambil sesekali memotret pelari-pelari yang lalu lalang, ia berbincang dengan saya.

Setelah menggeluti hampir 1 tahun, ia mengungkapkan bahwa Fotoyu menghidupi ia dan keluarganya.

“Ternyata ada income yang bisa didapat dari Fotoyu sampai sekarang hampir 1 tahun. Boleh dikatakan newbie,” jelasnya.

“Ya ada perubahan kenaikan tidak signifikan. Tidak membuat kaya tapi menghidupi,” ungkapnya.

Tiap pagi dari pukul 07.00-08.30 WIB memotret sebanyak mungkin pelari.

Lalu sambil upload ia sarapan di sekitar Stadion Manahan untuk menglarisi dagangan mereka.

Setelah itu pulang, istirahat. Lanjut lagi sore hari sekitar pukul 15.00-22.00.

“Jam 7 lebih sampai selesai kira-kira setengah 9. Kalau sore setengah 3. Beberapa sampai malam ternyata malam lebih bergeliat. Setelah maghrib lebih banyak,” terangnya.

Ia mengakui memang memiliki minat sport photography.

Namun, belakangan hampir semua genre ia geluti untuk tetap bisa eksis.

“Saya all round. Saya pernah memotret sport. Awal memotret sport otomotif. Mengenal dunia Instagram lomba foto saya mengikuti jadinya semua lini sebisa mungkin aku menguasai,” ungkapnya.

Dengan perkembangan teknologi digital hampir setiap orang bisa mengabadikan momen melalui foto.

Profesi fotografer profesional pun kian tergeser.

Namun, semenjak adanya platform Fotoyu, pendapatan yang didapat cukup menjanjikan.

Kini di sekeliling Stadion Manahan saja sekitar 100 lebih fotografer menggantungkan penghidupannya atau sekadar tambahan beli kopi dari platform ini.

Income yang menjanjikan aktivitas dari memotret kita unggah di platform. Customer check out foto kita langsung laku hari itu juga. Yang jadi ternyata menjanjikan ternyata income dua minggu udah kelihatan. Satu hari minimal sekitar 1000 foto. Weekend bisa 4.000 foto dalam 1 hari. Kita pasang tarif. Standar harga di Manahan Rp 40-45 ribu,” jelasnya.

Selain motret harian, ia juga bertolak ke sejumlah wilayah untuk memotret event lari dengan platform yang sama.

Ia bahkan bisa mengantongi uang hingga Rp 1 juta lebih tiap event digelar.

“Dalam satu hari kadang blong ya sering. Sekarang di bawah 10 foto dalam 1 hari. Sangat membantu. Dari Fotoyu sangat membantu. Dijadikan profesi juga bisa. Kalau ada event lari hari Minggu besok ke Surabaya. Ada event lari besar di sana. Satu event Rp 1-1,5 juta,” tuturnya.

Ia pun menerapkan trik-trik tertentu agar fotonya laku.

Salah satu yang wajib foto yang ia unggah harus beauty.

Ia bahkan melakukan metering dengan over exposure hingga over saturasi agar kliennya tampak glowing putih.

“Foto kita harus beauty. Kliennya mungkin ada yang tidak paham fotografi. Karena udah lumayan lama menggeluti otomatis tahu komposisi saya terapkan. Klien menginginkan tampilan yang kita upload gambar matang. Metering exposure dan lain-lain. Glowing. Ada peluang untuk dibeli besar. Di sini malah over exposure dan over saturasi biar lebih beauty,” ungkapnya.

Menjamurnya pengguna Fotoyu menimbulkan perdebatan mengenai standar etik

Sebab, obyek yang difoto tidak bisa benar-benar dipastikan bahwa ia berkenan difoto dan diunggah di platform tersebut.

Meski Fotoyu mengkondisikan hanya foto dengan wajahnya sendiri yang bisa dilihat, itu tidak cukup.

Adi sendiri pernah kena tegur karena memotret pelari yang tidak berkenan difoto.

“Pernah saya ngalami. Ada pasangan mereka nggak sengaja kita potret. Beberapa teman juga mengenai orang tersebut. Mereka tidak berkenan. Mereka DM via aplikasi dan WhatsApp. Tolong dihapus. Saya hapus seketika itu juga,” tuturnya.

Munculah peraturan tidak tertulis di antara fotografer dan pelari.

Mereka yang tak berkenan difoto akan menunjukkan gestur penolakan seperti memalingkan wajah.

Maka fotografer pun semestinya menurunkan kameranya

 Lalu fotografer Fotoyu juga memilih tempat ruang publik. Asumsinya, mereka yang berada di ruang publik memiliki kecenderungan berkenan difoto meski tak semua bisa disamaratakan.

Untuk Stadion Manahan, bagian terluar merupakan lahan basah karena banyak yang menginginkan fotonya yang sedang lari bisa diunggah di akun sosial media mereka.

Sementara, bagi yang tak ingin diekspos, mereka memilih sisi dalam.

“Ini kan public space. Random jadinya. Ini kan sisi bagian terluar. Bagian tengah juga ada. Ada beberapa pelari tidak berkenan melakukan aktivitas di tengah. Otomatis tidak menyasar ke situ,” jelasnya.

(*)

Baca Lebih Lanjut
Pakar Binus: AI Tak Gantikan Guru, Tapi...
Detik
Literasi Naik Kelas Berkat Perpustakaan Digital, SMAN 1 Pacitan Sabet Penghargaan Digital Transformation
Timesindonesia
Liburan Tak Harus Mahal Tapi Harus Bermakna, Ini 5 Aktivitas Seru Bareng Si Kecil di Rumah
Dwi Yansetyo Nugroho
Liquid Baru FOOM x UUS, Hadirkan Sensasi Rasa Segar yang Anti Mainstream
Ferdinand Waskita Suryacahya
Kasar saat Minta, Lutfi Haryono Si Pengemis Kaya Melas Ditangkap Satpol PP, Dulu Punya Rp 460 Juta
Torik Aqua
Perluas Informasi, KPH Perhutani Malang Jalin Kolaborasi dengan TIMES Indonesia
Timesindonesia
Wajah Baru Patung Penyu Alun-alun Gadobangkong, Tak Lagi Pakai Kardus
Detik
Jurusan yang Terkesan Santai Tapi Tugasnya Bikin Begadang
Detik
Inter Lebih Kaya, tapi Fluminense Lebih Baik
Detik
Vakum Bertahun-tahun,UMKM Katering Dapur Ibu Dica Asal Bekasi Disulap 3 Mahasiswa Jadi Bisnis Modern
Wahyu Septiana