TRIBUNJATIM.COM - Siswa SMP di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah diminta sumbangan Rp 700 ribu untuk beli meja dan kursi sekolah.
Orangtua murid pun keberatan dan menyampaikan keluhannya.
Orangtua murid tersebut adalah warga Kecamatan Nusawungu.
Ia tidak hanya mengeluhkan dugaan pungutan liar di sekolah anaknya, tetapi juga perasaan diabaikan oleh para pejabat daerah yang menurutnya jarang menengok wilayah pesisir.
Aduan yang dilayangkan pada Kamis (3/7/2025) ini mendapat tanggapan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Cilacap.
Dalam aduannya, warga ini mengawali dengan salam hormat namun berisi sindiran tajam.
Ia merasa Kecamatan Nusawungu sudah lama tidak pernah ditinjau oleh para pejabat.
Ia pun menagih janji para pemimpin untuk adil, mendengar, dan mengayomi masyarakat kecil.
Keluhan utamanya kemudian mengerucut pada mahalnya biaya sekolah negeri di wilayahnya, sebuah masalah yang menurutnya sudah terjadi turun-temurun sejak ia sendiri masih bersekolah.
Ia memberikan contoh kasus yang dialami langsung oleh anaknya di SMP Negeri wilayah Nusawungu.
Siswa kelas 7 di sekolah tersebut, menurutnya, dimintai dana sumbangan sukarela.
Namun, yang janggal adalah nominalnya yang sudah ditentukan.
"Yang namanya suka rela kan seikhlasnya kan masbup, tidak ada batasan. Nah di SMP negeri ini anak saya dimintai Rp700 ribu, yang katanya buat beli bangku dan meja," tulisnya, melansir dari TribunBanyumas.
Ia pun dengan penuh harap meminta agar Bupati turun langsung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sekolah-sekolah di Kecamatan Nusawungu untuk melihat kenyataan di lapangan.
Menanggapi keluhan ini, Dindikbud Kabupaten Cilacap memberikan jawaban yang bersifat penegasan aturan umum.
Pihak dinas menyatakan bahwa pungutan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan.
"Sebagai bentuk pencegahan, Dinas kami mengeluarkan surat Larangan Pungutan dengan nomor 400.3.5/679/15 tanggal 06 Mei 2024," tulis Dindikbud, merujuk pada surat edaran yang telah disebar ke seluruh SD dan SMP negeri di Cilacap.
Sebelumnya, keluhan juga datang dari wali murid soal seragam sekolah.
Di mana mereka mengeluhkan disuruh beli seragam sekolah Rp 1,5 juta.
Kualitas seragam pun jadi perhatian.
Dinas pendidikan pun angkat bicara.
Keresahan terkait ini diungkap wali murid di Banyumas, Jawa Tengah.
Dalam aduannya pada Kamis (3/7/2025), ia mengeluhkan keharusan membeli bahan seragam dari sekolah dengan harga yang fantastis.
Jawaban dari Dinas Pendidikan (Dindik) Kabupaten Banyumas pun menyoroti adanya aturan yang seolah bertolak belakang dengan praktik di lapangan.
Wali murid ini mengungkapkan kekesalannya terhadap kebijakan seragam di salah satu sekolah di Banyumas.
Ia mengaku diminta membayar Rp1,5 juta hanya untuk bahan seragam yang belum dijahit.
Parahnya lagi, kualitas bahan tersebut dinilai tidak sepadan dengan harganya.
"Masa bahan seragam tipis & cepat sobek sampai 1,5 juta," keluhnya.
Ia merasa praktik ini adalah bentuk monopoli oleh pihak sekolah yang mematikan para pelaku UMKM dan pedagang di pasar tradisional.
Menurutnya, siswa seharusnya dibebaskan untuk membeli seragam jadi di mana saja.
Ia bahkan menghitung, jika satu siswa membayar Rp1,5 juta dan ada 270 siswa, maka perputaran uang yang dimonopoli sekolah bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Menanggapi keluhan ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas memberikan jawaban yang di atas kertas terdengar melegakan.
Pihak dinas menegaskan bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan siswa membeli seragam atau bahan di sekolah.
"Tidak ada ketentuan membeli seragam/bahan di sekolah. Jika masih memiliki seragam yang layak pakai dari saudara/tetangga, dapat dipakai kembali," tulis Dindik.
Namun, pernyataan Dindik selanjutnya seolah menjadi jawaban atas kebingungan warga.
Meskipun membebaskan pembelian seragam umum di luar, ada satu pengecualian, yaitu untuk seragam identitas atau seragam khas sekolah (misalnya batik atau seragam olahraga).
"Tetapi untuk seragam identitas, hanya pihak sekolah yang memiliki motif/desain tersebut, karena masing-masing sekolah memiliki corak khas masing-masing," lanjut pernyataan Dindik.