TRIBUNNEWS.com - Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melakukan penggeledahan, Selasa (1/7/2025), terkait kasus korupsi pemberian kredit bank kepada PT Sritex.
Penggeledahan dilakukan di rumah Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, di Kota Solo, Jawa Tengah; kantor pusat PT Sritex di Sukoharjo; hingga rumah seorang pria bernama Allan Moran Severino yang juga berlokasi di Sukoharjo.
Dalam kesempatan itu Kejagung menyita uang Rp2 miliar yang disimpan di dalam plastik bekas mainan di rumah Iwan Kurniawan.
Sementara, dari rumah Allan, Kejagung menyita dokumen dan dua ponsel sebagai barang bukti elektronik.
Kejagung diketahui juga menggeledah tiga perusahaan, yaitu PT Sari Warna Asli Tekstil Industri dan PT Senang Karisma Tekstil di Karanganyar, serta PT Multi Internasional Logistik di Kota Solo.
"Selanjutnya terhadap barang bukti yang disita tersebut, akan diminta persetujuan penyitaan ke pengadilan negeri setempat," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, Selasa.
Lantas, siapakah sosok Allan yang rumahnya turut digeledah Kejagung?
Dalam Akta PT Sritex, tertulis Allan Moran Severino lahir pada 26 Maret 1956 di Cebu, Filipina.
Rumahnya beralamat di Jalan Mawar, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.
Ia diketahui menjabat sebagai Direktur Keuangan Sritex.
Menurut catatan Bloomberg, Allan merupakan lulusan University de San Carlos-Guatemala di Guatemala.
Sebelumnya, saat menjalani pemeriksaan yang ketiga pada Rabu (18/6/2025), Iwan Kurniawan Lukminto telah membawa dokumen-dokumen perusahaan yang diminta Kejagung.
"Kita hadir sekali lagi melengkapi, memenuhi permintaan dari Kejagung untuk kelengkapan dokumen," ujar Iwan Kurniawan, Rabu.
Di kesempatan yang sama, kuasa hukum Iwan Kurniawan, Calvin Wijaya, mengatakan pihaknya juga membawa akta-akta perusahaan.
Calvin mengklaim pengumpulan akta-akta perusahaan itu membutuhkan waktu sebab harus mencari.
"Ada beberapa akta yang kemarin mungkin dari pegawai-pegawai yang kemarin pernah bekerja dengan Pak Iwan yang kemarin belum bisa kami dapatkan dokumennya karena butuh waktu untuk kita cari," jelas dia, dikutip dari Kompas.com.
Meski demikian, baik Iwan Kurniawan dan kuasa hukumnya, sama-sama enggan merinci dokumen dan akta perusahaan yang mereka bawa.
Mereka hanya mengatakan akta-akta yang dibawa membahas keadaan umum perusahaan, baik di induk maupun anak usaha.
"(Dokumen) secara umum perusahaan," ujar Calvin.
Agenda pemeriksaan saat itu diketahui untuk menanyakan soal penggunaan dana kredit dari bank untuk Sritex, kepada Iwan Kurniawan.
Sebab, diketahui, Iwan Kurniawan pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Utama dan Direktur di tiga anak perusahaan Sritex.
Dalam kasus ini, Kejagung telah lebih dulu menetapkan kakak Iwan Kurniawan Lukminto, Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka.
Diketahui, Iwan Setiawan menerima dana kredit untuk Sritex dari Bank BJB dan Bank DKI.
Dalam perjanjiannya, uang kredit senilai ratusan miliar, seharusnya diperuntukkan sebagai dana modal operasional Sritex.
Tetapi, dana kredit itu justru digunakan Iwan Setiawan untuk membeli aset tak produktif hingga membayar utang kepada pihak ketiga.
"Tetapi, berdasarkan hasil penyidikan hang tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, tapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset yang tidak produktif," jelas Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Rabu (22/5/2025).
"Ada di beberapa tempat, ada yang di Jogja, ada yang di Solo. Jadi nanti pasti akan kita sampaikan semuanya," imbuh dia.
Dalam kasus ini, Iwan Setiawan bersama dua mantan pejabat Bank BJB dan Bank DKI, Dicky Syahbandinata dan Zainuddin Mappa, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Dicky dan Zainuddin menjadi tersangka karena memberikan kredit secara melawan hukum kepada Sritex, melalui Iwan Setiawan.
Keduanya telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) Bank serta Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebab tak melakukan analisis dan menaati prosedur saat memberikan kredit kepada Sritex, yang kala itu dipimpin Iwan Setiawan.
Pasalnya, Sritex memiliki peringkat BB- atau sebagai perusahaan yang berisiko gagal bayar cukup tinggi, berdasarkan penilaian dari Lembaga Pemeringkat Fitch dan Moodys.
Peringkat itu membuat Sritex menjadi perusahaan yang tidak layak diberi kredit tanpa adanya jaminan.
"Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A yang seharusnya wajib dilakukan sebelum diberikan fasilitas kredit," tutur Qohar.
Lebih lanjut, Qohar menjelaskan, hal tersebut kemudian dibuktikan dengan macetnya pembayaran kredit dari Sritex kepada Bank BJB dan Bank DKI.
Akibat adanya pemberian kredit dari Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex, negara mengalami kerugian hingga Rp692 miliar.
Kini, Iwan Setiawan, Dicky, dan Zainuddin dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH-Pidana.
(Pravitri Retno W/Ibriza Fasti/Fahmi Ramadhan) (Kompas.com/Shela Octavia)