TRIBUNJATENG.COM - Cerita seorang pendaki yang berhasil selamat setelah jatuh di lereng curam Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pendaki tersebut berasal Irlandia bernama Paul Farrell (32).
Ia sempat tertahan di bebatuan hingga enam jam sebelum akhirnya berhasil dievakuasi.
Farrell jatuh saat mendaki Gunung Rinjani pada Oktober 2024 lalu.
Dia tergelincir sekitar 200 meter di lereng tersebut.
Meski begitu, dia berhasil diselamatkan dan bisa menceritakan apa yang dialaminya pada saat itu.
Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang dialami WNA Brasil bernama Juliana Marins baru-baru ini.
Namun nahas, Juliana meninggal dunia saat berhasil ditemukan oleh tim SAR.
Dilansir dari Kompas.com, Jumat (27/6/2025), diperkirakan Juliana masih hidup sekitar 20 menit setelah jatuh dan mengalami luka-luka.
Hasil otopsi RSUD Bali Mandara mengungkapkan, Juliana mengalami luka serius akibat benturan benda tumpul.
Luka-luka tersebut meliputi lecet geser di sekujur tubuh serta patah tulang di bagian dada, punggung, dan paha.
Lantas, bagaimana Farrell bisa selamat dari kejadian itu?
Farrel ingat saat itu ia bangun dini hari di basecamp untuk melakukan pendakian Gunung Rinjani.
Menurutnya, bagian pertama dari perjalanan itu berjalan lancar, meskipun sempat ada kesulitan untuk mencapai puncak.
"Tanah di sana berbeda, jenis tanah yang membuat Anda merasa seperti mengambil satu langkah maju dan dua langkah mundur,” ungkapnya, dikutip dari BBC, Kamis (26/6/2025).
“Karena kami berada di gunung berapi, tanahnya berpasir dan Anda bisa menenggelamkan kaki Anda," sambungnya.
Saat sedang perjalanan turun dari puncak Rinjani, Farrell merasa terganggu dengan banyaknya kerikil kecil di dalam sepatunya.
Karena hal tersebut membuatnya sangat tidak nyaman, dia memutuskan untuk melepas sepatunya agar bisa dibersihkan.
"Untuk melakukannya, saya melepas sarung tangan yang saya kenakan di tangan saya, hanya untuk mempermudah pekerjaan," tutur Farrell.
Semuanya berjalan dengan baik hingga embusan angin menerbangkan sarung tangan ke arah gunung berapi.
Seketika pada saat itu, dia refleks berlutut untuk mempertahankan keseimbangannya.
Namun tanah tempat dia berpijak runtuh begitu saja.
Farrell pun jatuh tergelincir menuruni lereng, dan mode bertahan hidup pun otomatis aktif di otaknya.
"Kecepatan jatuh saya semakin meningkat, adrenalin saya semakin memuncak. Saya segera menyadari bahwa saya bisa mati kapan saja,” ungkapnya.
Satu-satunya alternatif yang bisa dilakukannya dalam situasi tersebut adalah mencari batu besar untuk berpegangan, agar laju dia terjatuh ke lereng yang lebih dalam bisa terhenti.
Ketika itu, dia mencoba untuk menancapkan tangan bahkan kukunya ke benda apapun hanya untuk memperlambat laju dia jatuh.
"Sampai saya melihat sekilas sebuah batu besar, hampir seperti batu besar, dan mencoba membelok ke arah itu,” ucapnya.
“Saya menabrak batu tersebut, tapi untungnya saya berhasil mengerem saat turun,” lanjutnya.
Farrell berhenti sekitar 200 meter di bawah dari tempat dia terjatuh.
Di sana dia dapat mengatur napas dan menyadari bahwa ia hanya mengalami beberapa luka dan goresan.
Meski demikian, kondisinya pada saat itu tidak aman.
Di sana, dia merasa bisa terpeleset kapan pun.
Farrell mengatakan bahwa dia melakukan pendakian Gunung Rinjani tersebut bersama sebuah kelompok.
Namun pada saat itu, hanya ada seorang perempuan Perancis di dekatnya.
Untungnya, perempuan itu menyaksikan seluruh kejadian yang dialami Farrell.
"Saya berteriak sekeras-kerasnya agar dia menemukan anggota tim yang lain dan mencari bantuan,” ujarnya.
“Kemudian dia berlari kembali ke basecamp dan memperingatkan orang-orang," tambahnya.
Ketika itu, sekelompok pendaki profesional mencoba membuat tali seadanya dari pakaian yang diikat menjadi satu untuk mengangkatnya ke atas.
Namun medan tidak memungkinkannya untuk turun dari batu dengan aman, dengan risiko jatuh lebih dalam lagi.
Farrell mengaku bertahan di atas batu selama sekitar lima hingga enam jam sampai tim penyelamat tiba.
Tim penyelamat pun tiba dan berusaha mengevakuasi Farrell sesegera mungkin.
Setelah lima jam, dia pun berhasil diselamatkan.
Ketika dia akhirnya terbebas dari situasi tersebut, pria asal Irlandia itu mengatakan bahwa dia merasa “sangat lega”.
“Saya sangat bersyukur dan penuh energi,” tuturnya.
“Saya menyukai adrenalin dan olahraga ekstrem, tetapi ini adalah situasi yang sangat dekat dengan batas,” imbuhnya. (Kompas.com)