TRIBUNNEWS.COM - Inilah makna tradisi Tapa Bisu Mubeng Benteng malam 1 Suro 2025.
Hari ini, Kamis (26/6/2025) adalah malam 1 Suro 2025 yang bagi masyarakat Jawa dipercaya sebagai momen yang sakral dan istimewa.
Saat malam 1 Suro 2025 ini, biasanya masyarakat Jawa menjalankan sejumlah tradisi, salah satunya Tapa Bisu Mubeng Benteng.
Tradisi Tapa Bisu Mubeng Benteng biasanya dilakukan oleh kalangan Keraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.
Lantas, apa makna tradisi Tapa Bisu Mubeng Benteng malam 1 Suro 2025?
Tradisi Tapa Bisu Mubeng Benteng malam 1 Suro 2025 biasanya dilakukan dengan berjalan berderet tanpa alas kaki, mengelilingi benteng keraton dalam keadaan diam.
Melansir laman Museum Sonobudoyo, ternyata ada makna tersendiri dalam menjalankan tradisi Tapa Bisu Mubeng Benteng malam 1 Suro 2025.
Secara tradisi, Tapa Bisu bisa diartikan untuk mengajak manusia tidak berkata-kata, tidak bersuara dan berisik, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Melakukan Tapa Bisu saat Mubeng Beteng menjadi bentuk pertapaan modern yang masih mengakar kuat dalam budaya Jawa.
Dalam keheningan Tapa Bisu, mereka tidak hanya membisu secara verbal, tetapi juga membungkam ego dan kegaduhan hati.
Selain itu, Tapa Bisu malam 1 Suro bukan sekadar ritual diam.
Hal ini merupakan bentuk tertinggi dari kontemplasi manusia kembali pada dirinya, merefleksikan jalan hidupnya selama satu tahun ke belakang, dan mengurai harap yang masih tersimpan untuk satu tahun ke depan.
Dalam sunyi itu, masing-masing orang membawa doa, penyesalan, dan permintaan ampunan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Uniknya justru dalam keramaian yang tidak bersuara itulah, Tapa Bisu malam 1 Suro menjadi momen yang terasa sangat personal.
Ribuan orang berjalan bersama, tapi tidak saling menyapa.
Tidak ada basa-basi, tidak ada selfie, tidak ada obrolan ringan.
Semua larut dalam semacam kesunyian kolektif yang nyaris mistis.
Bagi banyak orang, ikut Tapa Bisu seperti menempuh perjalanan ke dalam diri sendiri.
Satu-satunya suara yang terdengar adalah detak jantung dan langkah kaki.
Tidak jarang, momen ini justru membawa air mata yang jatuh diam-diam, entah karena haru, entah karena penyesalan, atau sekadar karena merasa dekat sekali dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Menjalankan apa Bisu adalah pengingat bahwa dalam hidup yang riuh, kita butuh jeda. Butuh ruang untuk diam.
Butuh waktu untuk tidak bicara, hanya mendengar terutama mendengar diri sendiri.
Sebab barangkali, dalam keheningan itulah, jawaban-jawaban yang selama ini kita cari sedang berbisik pelan.
Tradisi ini terus lestari, bukan hanya karena warisan leluhur, tetapi karena ia menjawab kebutuhan spiritual manusia yang modern sekalipun: kebutuhan untuk sejenak hening dan kembali ke dalam.
Dan Yogyakarta, dengan segala magisnya, masih menyediakan ruang untuk itu setiap malam 1 Suro.
(M Alvian Fakka)