TRIBUNBATAM.id - Rumah keluarga Septia Adinda di kawasan Balah Ilia Utara, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat masih diselimuti suasana duka.
Dinda, sapaan akrabnya, menjadi korban pembunuhan mutilasi yang menggemparkan warga Padang Pariaman.
Masih membekas di ingatan sang ibu, kenangan terakhir sebelum Dinda meninggalkan rumah.
“Pakai baju mama dulu, saya pergi sebentar,” ucap Dinda sebelum akhirnya tak pernah kembali pada Minggu pagi, 15 Juni 2025.
Kala itu, sang ibu, Wenni, mengajaknya pergi ke Kota Pariaman untuk mengunjungi kerabat. Dinda telah menyanggupi.
Namun sesaat kemudian, telepon masuk mengubah rencana.
Dinda berpamitan, memilih untuk menemui seseorang yang menelponnya, dan pergi mengendarai motor seperti biasa.
“Itulah percakapan terakhir Dinda di rumah. Saya ada di sana waktu itu,” kenang sang paman, Donal, yang menyaksikan langsung momen tersebut.
Telepon Mati, Kekhawatiran Ayah Mulai Meningkat
Malam harinya, sang ayah, Dasrizal, mulai merasa gelisah. Dinda tak kunjung pulang. Upaya menelepon dilakukan berkali-kali, namun sejak pukul 22.00 WIB, ponselnya sudah tidak aktif.
“Saya langsung mencari ke rumah beberapa temannya, tapi tidak ada jawaban pasti,” ungkapnya.
Selama dua hari pertama, keluarga masih mencoba berpikir positif. Mereka percaya Dinda yang dikenal mandiri mungkin sedang ada urusan.
Namun, kekhawatiran berubah menjadi firasat buruk saat kabar penemuan potongan tubuh manusia merebak di media.
“Kami mencoba mencari lagi, tapi tetap tidak ada hasil. Baru pada Rabu (18/6), polisi datang dan mengajak kami ke RS Bhayangkara,” kata Dasrizal.
Di rumah sakit itulah, kebenaran yang menyayat hati terungkap. Dasrizal mengenali potongan tubuh anak bungsunya. “Saya yakin itu anak saya...,” ujarnya lirih.
Tangis Ibu Pecah di Bawah Tenda Duka
Pagi harinya, tenda duka membentang di halaman rumah. Wenni, ibunda korban, tampak tak kuasa menahan tangis saat menerima kunjungan dari tim psikologi Polda Sumbar.
“Dinda itu anak baik, ceria, dan mandiri. Tak bisa saya terima kenyataan ini,” kata Wenni terbata-bata.
Ia mengaku Dinda adalah anak kesayangannya, bahkan lebih dimanjakan dibanding sang kakak. “Abangnya pernah bilang, anak yang terlalu disayang memang cepat diambil Tuhan,” ujarnya sambil mengusap air mata dengan jilbab hitam yang ia kenakan.
Kini, keluarga hanya berharap keadilan ditegakkan dan pelaku pembunuhan keji itu mendapat hukuman seberat-beratnya.