BANGKAPOS.COM -- Pemilik Wilmar Group adalah Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus.
Keduanya mendirikan Wilmar Group pada tahun 1991.
Perusahaan ini bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan pengolah minyak sawit mentah (CPO) serta produsen gula.
Wilmar Group memiliki lima anak usaha yang kini menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Kelima entitas Wilmar yang menjadi terdakwa adalah: PT Multimas Nabati Asahan; PT Multinabati Sulawesi; PT Sinar; Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; PT Wilmar Nabati Indonesia.
Martua Sitorus, salah satu pendiri Wilmar Group adalah seorang pengusaha yang lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara.
Martua Sitorus pernah masuk jajaran orang terkaya no 15 di Indonesia versi Majalah Forbes pada tahun 2015.
Dari latar belakang pendidikan, Martua Sitorus merupakan lulusan SMA Budi Mulia Pematangsiantar dan Universitas HKBP Nomensen, Medan, Sumatra Utara.
Martua Sitorus bersama dengan Kuok Khoon Hong pertama kali mendirikan perusahaan yang bernama Wilmar Trading Pte Ltd di Singapura, yang saat itu hanya memiliki lima karyawan dan modal awal sebesar 100.000 dollar Singapura.
Tak lama kemudian, Wilmar mendirikan perkebunan kelapa sawit pertamanya di Sumatera Barat seluas 7.000 hektar melalui PT Agra Masang Perkasa (AMP).
Ekspansi kilang dan akuisisi pabrik terus dilakukan di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.
Pada awal 2000-an, Wilmar mulai memasarkan minyak goreng merek sendiri, seperti Sania.
Pada 2005, mereka mengakuisisi PT Cahaya Kalbar Tbk, produsen lemak dan minyak khusus untuk industri makanan.
Lalu, pada 2006, Wilmar Trading Pte Ltd berganti nama menjadi Wilmar International Limited dan melantai kembali di Bursa Singapura.
Saat ini, Wilmar Group menjadi salah satu pemain utama dalam industri kelapa sawit global.
Hingga 31 Desember 2020, total lahan tanam yang dimiliki mencapai 232.053 hektar, dengan 65 persen berada di Indonesia.
Lokasi perkebunan mencakup Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Sisanya tersebar di Malaysia, Uganda, dan Afrika Barat.
“Di Indonesia, perkebunan kami berlokasi di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (wilayah selatan), sedangkan di Malaysia berada di Sabah dan Sarawak,” tulis Wilmar dalam laporan resminya yang dikutip Rabu (18/6/2025).
Wilmar juga mengelola lebih dari 35.000 hektar lahan di bawah skema petani kecil serta bekerja sama dengan mitra petani di Afrika dan Indonesia.
Selain memproduksi minyak sawit mentah, Wilmar adalah produsen minyak nabati kemasan terbesar di dunia.
Di Indonesia, produk seperti Sania, Fortune, Siip, dan Sovia adalah merek-merek minyak goreng yang berasal dari Wilmar.
Tak hanya itu, Wilmar juga memiliki lini bisnis pangan lain, seperti beras, tepung, mie, hingga bumbu masak.
Bahkan di sektor pupuk, Wilmar termasuk salah satu pemain terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton per tahun.
“Bisnis pupuk diarahkan ke sektor kelapa sawit, sejalan dengan salah satu bisnis inti Wilmar,” ungkap perusahaan.
Berikut adalah beberapa kategori produk Wilmar Group:
Minyak goreng kemasan: Sania, Fortune, Siip, Sovia
Beras: Beras premium Sania, Fortune
Tepung terigu: Tulip, Sania
Dilansir dari laman resminya, Wilmar Group juga memiliki bisnis di bidang perkebunan kelapa sawit, penggilingan padi, penggilingan dan penyulingan gula, serta manufaktur produk konsumen.
Wilmar Group juga bergerak dalam perdagangan dan distribusi berbagai pupuk dan agrokimia.
Kasus CPO Wilmar Group, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun
Wilmar Group menjadi sorotan usai lima anak usahanya terjerat kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Kelima entitas Wilmar yang menjadi terdakwa adalah: PT Multimas Nabati Asahan; PT Multinabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang senilai Rp11,8 triliun terkait kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) terhadap PT Wilmar Group pada tahun 2022.
Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno mengatakan uang yang disita tersebut berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta kajian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM).
"Terdapat kerugian negara dalam tiga bentuk yaitu kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara, seluruhnya Rp11.880.351.802.619," kata Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selasa (17/6/2025).
Sutikno pun turut membeberkan rincian terkait kerugian negara yang belasan triliun rupiah tersebut.
Dia mengatakan PT Multi Mas Nabati Asahan membuat rugi negara sebesar Rp3.997.042.917.832,42 (Rp3,9 triliun).
Lalu, PT Multi Nabati Sulawesi menyebabkan kerugian mencapai Rp39.756.429.964,94 (Rp39,7 miliar).
PT Sinar Alam Permai mengakibatkan negara rugi dengan nominal Rp483.961.045.417,33 (Rp483,9 miliar). Kemudian, PT Wilmar Bio Energi Indonesia membuat rugi negara sebesar Rp57.303.038.077,64 (Rp57,3 miliar).
Terakhir adalah PT Wilmar Nabati Indonesia yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp7.302.288.371.326,78 (Rp7,3 triliun).
"Bahwa dalam perkembangannya kelima terdakwa korporasi tersebut beberapa saat yang lalu, mengembalikan sejumlah kerugian negara yang ditimbulkan total seluruhnya seperti kerugian yang telah terjadi Rp11.880.351.802.619," kata Sutikno.
Sutikno mengungkapkan uang tersebut kini disimpan di rekening penampungan lain (RPL) milik Jaksa Agung Muda Jampidsus Kejagung di Bank Mandiri.
Sementara, penyitaan uang ganti rugi ke negara tersebut berdasarkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jakpus.
Adapun penyitaan tersebut juga sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 huruf a juncto Pasal 38 KUHAP lantaran digunakan untuk banding di tingkat kasasi.
Sementara, lima terdakwa korporasi dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(Bangkapos.com/Kompas.com)