Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Atik Triratnawati, mengkaji masuk angin sebagai fenomena budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Kerokan menjadi cara untuk meredakannya.
Atik menyampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi Kesehatan pada Selasa (10/6) di Balai Senat UGM. Atik menjelaskan bahwa masuk angin menjadi sebuah fenomena antara bidang medis dan budaya. Makanya, disebut sebagai gangguan kesehatan dan dimaklumi oleh masyarakat Jawa dan selanjutnya masyarakat Indonesia secara luas.
Pada ranah budaya, masuk angin jatuh pada ranah magik atau sihir. Gejalanya yang tidak jauh berbeda dengan penyakit lain sehingga penderitanya tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasanya.
Dalam pidato itu dia menyebut ada tiga jenis masuk angin, salah satunya yang paling umum adalah masuk angin ringan dengan gejala kembung, pegal, hingga rasa tidak nyaman di tubuh.
![]() |
Adapun jenis kedua adalah masuk angin berat.
Untuk jenis ketiga adalah masuk angin kasep. Ini merupakan kelas paling tinggi dan harus mendapatkan penanganan medis.
"Kalau masuk angin kasep itu kelas yang paling tinggi. Itu gejalanya tidak dirasakan oleh penderita, tapi penderita tiba-tiba mengalami shock karena sesak napas," kata Atik dikutip dari detikjoga, Selasa (17/6/2025).
"Kalau orang medis menyebut serangan jantung, itu kasep. Tidak pernah dirasakan, tidak pernah dikerok, tidak pernah diobati, tapi dipakai kerja terus. Akhirnya gejala itu akan datang tiba-tiba dalam bentuk serangan jantung.
Untuk penanganan dari tiga jenis masuk angin tersebut bermacam-macam. Ati menyebut terdapat beberapa penanganan sederhana hingga medis untuk mengobati masuk angin.
"Banyak pengobatan sederhana untuk menggantikan kerokan. Misalnya minum kopi panas, jahe panas, the panas, terus leren atau berhenti, istirahat. Bisa juga pijat, itu cara sederhana. Karena kalau kerokan itu dia nyeri. Begitu dipijat seluruh tubuh, suhu turun dan sembuh," kata dia.
Sementara untuk masuk angin kasep harus dibawa ke ke tenaga medis. Sebab, jika tak ditangani bisa berujung mematikan bagi penderita.
"Kalau kasep, bisa diselamatkan, tapi harus medis modern atau ke dokter. Tapi karena orang awam, biasanya kaget, pasien dibiarkan ya bablas.
"Tapi kalau orang pemahaman cukup, paham medis tradisional dan modern. Waktu serangan itu atau sesak napas, langsung dilarikan ke rumah sakit. Di IGD itu ada pertolongan pertama untuk serangan jantung. 15 menit pertama itu menentukan sembuh tidaknya pasien," ujar dia.
***
Artikel ini sudah lebih dulu di detikjogja. Selengkapnya klik di sini.