Lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara Asia tengah menjadi sorotan belakangan ini. Pakar imunologi fakultas kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo, MSi, SpMK mengimbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan, meski tren lonjakan kasus yang muncul tidak separah saat pandemi.

Menurut dr Agung, adanya sedikit kenaikan kasus COVID-19 pasca pandemi adalah hal yang wajar. Hal yang harus diingat adalah virus ini belum benar-benar hilang. COVID-19 hanya mengalami mutasi dan menular lebih cepat, meski gejalanya masih ringan.

Lebih lanjut dr Agung menjelaskan, kenaikan kasus COVID-19 di dunia saat ini dipicu oleh 3 faktor yakni munculnya varian baru, penurunan kekebalan populasi, serta perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi.

"Varian baru ini merupakan hasil mutasi Omicron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1.

Varian NB.1.8.1 ini dikenal dengan nama Nimbus. Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omicron sebelumnya," ujar dr Agung dikutip dari laman resmi Unair, Selasa (10/6/2025).

Ia menuturkan, mutasi seperti Omicron dan Nimbus mampu menghindari sistem kekebalan yang terbentuk tubuh, termasuk dari vaksin generasi awal. Hal ini yang membuat varian baru meningkatkan risiko penyebaran.

Perubahan cuaca juga dinilai berkontribusi menurunkan daya tubuh. dr Agung menuturkan perubahan musim yang seharusnya panas berubah menjadi dingin dan hujan, merupakan kondisi yang ideal untuk penyebaran COVID-19.

Situasi ini disebut mirip ketika virus SARS-CoV-2 ini pertama kali menyebar secara global.

Minumnya pemeriksaan dan pelacakan membuat infeksi COVID-19 tidak terdeteksi. Banyak orang mungkin yang mengalami batuk atau pilek tidak mengetahui apakah terinfeksi COVID-19.

"Perubahan musim ini memicu penurunan kekebalan tubuh masyarakat. Sementara itu, banyak orang merasa COVID-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang," terangnya.

NEXT: Persebaran Varian Nimbus

Varian Nimbus pertama kali terdeteksi pada akhir Januari 2025 di wilayah Asia. Hingga 23 Mei 2025, WHO mencatat COVID-19 varian Nimbus sudah terdeteksi di sekitar 22 negara.

Salah satunya seperti di Amerika Serikat, khususnya di negara bagian New York, California, Arizona, Ohio, Rhode Island, Washington, Virginia, dan Hawaii.

Beberapa negara lain seperti Singapura, Thailand, Australia, Kanada, Hong Kong, dan Korea Selatan juga mendeteksi varian serupa.

Beberapa pasien yang terpapar varian Nimbus mengalami gejala seperti demam, menggigil, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, kelelahan, sulit bernapas, dan diare.


Beberapa negara lain seperti Singapura, Thailand, Australia, Kanada, Hong Kong, dan Korea Selatan juga mendeteksi varian serupa.

Beberapa pasien yang terpapar varian Nimbus mengalami gejala seperti demam, menggigil, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, kelelahan, sulit bernapas, dan diare.


Baca Lebih Lanjut
Sudah Menyebar ke 22 Negara, Ini Gejala COVID-19 Varian 'Nimbus' NB.1.8.1
Detik
WHO Deteksi COVID-19 Varian NB.1.8.1 yang Picu Lonjakan Kasus, Apa Gejalanya?
Detik
Apa Itu COVID-19 Varian NB.1.8.1? Disebut WHO Picu Kenaikan Kasus
Detik
Menkes: Kasus COVID-19 Ada Sedikit Peningkatan, Kalau Batuk Segera Tes
KumparanNEWS
India 'Diguncang' COVID-19, Tambah 300 Kasus Baru dalam 24 Jam!
Detik
Dua Pasien di RSUD AWS Samarinda Positif Antigen COVID-19, Tunggu Hasil PCR
Timesindonesia
Kasus COVID-19 di India Makin Ngegas, Ini Gejala yang Dikeluhkan Pasien
Detik
Pesepak Bola Neymar Positif COVID-19
Detik
COVID-19 di Thailand Meroket, Ada Tambahan 28 Ribu Kasus dalam 2 Hari!
Detik
12 Virus Paling Mematikan Sepanjang Sejarah, Salah Satunya Penyebab COVID-19
Detik