Salah satu terdakwa adalah Zara Yupita Azra, senior dari angkatan 76 di PPDS Anestesi Undip. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut Zara sebelumnya adalah kakak pembimbing dari almarhumah dr ARL.
"Dalam pertemuan tersebut, dr. Zara memberikan instruksi kepada angkatan 77 mengenai sistem operan tugas, termasuk penyediaan makanan prolong, joki tugas, serta keperluan lainnya," jelas JPU Shandy dalam persidangan, dikutip dari detikJateng, Selasa (27/5/2025).
Terdapat pula aturan yang disebut 'pasal anestesi' di lingkungan PPDS, yakni mengatur etika interaksi antara junior dan senior.
Selain itu, mahasiswa tingkat awal atau semester nol hanya diperbolehkan berbicara dengan senior satu tingkat di atasnya. Komunikasi dengan senior lebih dari dua tingkat dilarang, kecuali jika senior yang memulai. Bahkan, berbicara tanpa izin bisa dianggap sebagai pelanggaran etika.
Selain praktik perundungan verbal dan psikologis, mahasiswa juga dibebani kewajiban menyediakan makanan bagi senior sebagai bagian dari 'kewajiban' hierarki. Biaya makan ini ditanggung penuh oleh junior, tanpa kontribusi senior yang menikmati makanan tersebut.
Tak hanya itu, junior juga diminta membayar untuk joki tugas akademik ke pihak ketiga yang mengerjakan tugas ilmiah milik senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).
Eks Kaprodi Diduga Wajibkan Pembayaran Rp 80 Juta per Mahasiswa
Dalam sidang yang menghadirkan mantan Kepala Program Studi PPDS Anestesi Undip, dr Taufik Eko Nugroho, dan staf administrasi Sri Maryani, sebagai dua tersangka kasus dr 'ARL' lainnya, JPU membeberkan praktik pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) kepada mahasiswa.
"Terdakwa dr Taufik secara konsisten mewajibkan mahasiswa semester 2 ke atas untuk membayar BOP hingga sekitar Rp 80 juta per orang," ungkap jaksa Shandy.
Dana tersebut diklaim untuk mendanai berbagai kebutuhan akademik, seperti ujian CBT, OSS, penyusunan tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah.
Namun, sejak 2018 hingga 2023, banyak mahasiswa dari berbagai angkatan merasa terbebani dan tertekan oleh kewajiban ini. Meski begitu, mereka memilih diam karena khawatir kelancaran pendidikan dan kepesertaan ujian mereka akan terhambat bila tidak mematuhi perintah dr Taufik.
"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.
"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," sambungnya.
KLIK DI SINI UNTUK KE HALAMAN SELANJUTNYA.